#Foto: A moment after kolo


Guess he looks prettier than me. I beg you to agree.

#Foto: Memory on Trakindo

Beberapa waktu yang lalu saya sempat bekerja magang. Tidak lama, hanya dalam jangka waktu dua bulan saya berada di sana.
Meski demikian, saya sangat senang karena saya memiliki keluarga baru yang sangat seru! Bahkan sampai saat ini.
Ini adalah foto-foto yang diambil setelah saya menyelesaikan masa magang saya, so di foto-foto ini saya nggak makai baju kerja. 

Mereka benar-benar keluarga yang baik. I miss being there so much!


 With Rezki. She was such a nice friend! 


Paroji - Me - Mas Nopa. We are the three musketeers.


With Mbak Nita.


(left to right) Mas Nopa, Paroji, Mas Budi, 
Mas Yusril, Mas Dwi, Me, Mas Toyan & Mas Adi


Dalam waktu dekat ini saya berencana untuk main-main ke kantor lagi. Belum sempat juga foto sama beberapa orang. 
So, please kindly wait for my next posts. Ciao!

HIM

It's as simple as this.
When everything went wrong, we called Him
We prayed, we begged, we 'forced' Him to fulfill.
And became angry if He didn't.


When everything went back to normal,
did we still beg or just thank Him?

Seharusnya

Seharusnya aku tahu
mencintamu adalah hal yang sia-sia
karena hingga detik ini belum bisa kupahami 
mengapa hanya ini yang kuterima

Seharusnya logikaku bisa membawaku pergi jauh darimu

tapi nyatanya
malah rindu yang kupunya 

#8

My head consumes negligible words that set it spinning over and over again.

Maybe because they're arranged into your name.



#7

"...untuk melangkah di bawah keikhlasan orang lain,
orang yang katanya dipersiapkan oleh Tuhan,
yang disesuaikan dengan saya dengan segala kepantasan."

#6

Mati kau dihantam tanda tanya.
Bicara sekarang,
atau malam keburu tenggelam.

Di Pembaringan Malam Ini

Di pembaringan malam ini, sejenak tubuhku meninggalkan ruang penatnya

Terbangun dengan rasa geli, menyengat di bantal pipi

Rasanya pening. Bising. Pusat inderaku dirotasi lebih jauh sekian derajat dari batas khayal mimpi. Aku meringis, ini bukan pertama kalinya dirimu mampir

Bahkan seisi perutku mencelos, seperti dipenuhi medan listrik yang dengan nakalnya tak henti mengganggu dan menggelitik

Semuanya menyatu menjadi alunan melodi klasik
dalam notasi yang tak mungkin diterjemahkan sang maestro musik

Semuanya manis berbalut warna merah muda. Lembut memanja mata

Semuanya datang. Pergi. Datang. Lalu pergi sesuka hati

Aku tidak mengerti



Bisa tolong berhenti saja bermain-main di pikiranku?

#5

"Dan kita tidak pernah mencoba untuk berimprovisasi. Semuanya sungguh murni. Asli. Terjadi cepat sekali, hanya butuh sedikit sentilan tangan Tuhan."

#4

“Bisa mencintai orang lain itu, tulus. Bisa dicintai orang lain itu, bonus. Bisa mencintai diri sendiri itu, harus.”

- Djenar Maesa Ayu

Kontra-posisi

Sebegitukah nyamannya kamu dalam tenangmu?

Di sini, sumbu waktuku tersulut api yang menyala beku.
Diemulsi jutaan partikel omega rasa, siap meledak kapan saja.

Sebegitu merindunya aku, dan ku amati sepi pun turut membisu.

Di tempat dudukmu,
asyik kau hingar dalam bingarmu.

#3

Andai masa lalu bisa dibungkam.
Mungkin aku yang lebih banyak bicara sekarang.

#2

My mind and I. We talk about you everyday.

Rahasia

(Payung Teduh)

Tak ada sore
dan udara menjadi segar
Tak ada gelap, lalu mata enggan menatap

 
Tak ada bintang mati

butiran pasir terbang ke langit
Tak ada fajar, hanya remang malam

 
Semua t'lah hilang terserap matahari


Harum mawar memburu bulan
Rahasia tetap diam tak terucap

 
Untuk itu semua, aku mencarimu
Berikan tanganmu, jabat jemariku

 
Yang kau tinggalkan hanya harum tubuhmu

 
Berikan suaramu, bawa semua bisikanku

memanggil namamu

Atau kau ingin aku berteriak sekencang kencangnya?
Agar seluruh ruangan ini bergetar oleh suaraku?



(Covered by Rahne Putri)

Ini rahasiaku:
 
Tak ada gelap, segelap jauh darimu

 
Tak ada terang, yang seterang senyummu

 
Tak ada lagi bintang di mataku

 
Ketika bayanganmu menjauh, membentang
Kau buat rindu dan harapku melayang-layang

 
Kamu pernah menjadi senja, menenggelamkan semua
Kini yang tersisa hanya aroma tawa
Yang tersisa hanya harum air mata

 
Lalu aku mencari suaramu
Kuobrak-abrik namamu
Aku mencari wujudmu
 

Aku mencarimu


aku mencarimu
Stop inspiring me.

#1

Masih hangat dalam harmoni, 
hembusan doa di sela jemari
pada rindu yang tak pernah dengan sengaja 
kita sesaki.

Lebam

Di petak ini rupanya kenangan pernah tumbuh jadi angan

Bertengger ia begitu kuat
pada pikiran yang tak bisa kau petik harapku dari pucuknya

Lantas dengan angkuh kembali juga tubuhnya
mencobai segala tempat yang dia bilang penuh dengan hasrat

Tapi akhirnya jatuh juga ke peranak kata

Pecah sunyi lagi-lagi di ambang pagi. Singkirkan segumpal niat untuk berdamai dengan apa yang kita sebut sebagai ego diri 

Seperti enggan mengurung benci, seperti senang mengikat isyarat hati dalam rantai jeruji

Mungkin benar tak lagi ada rasa yang dulu dengan berbaik hati kita bagi
Mungkin benar kita sekarang hanya seperti memakan remah-remah roti

Sungguh lucu karena kita ingin tetap berlari di saat emosi tidak lagi berbunyi

Ah, biarlah cepat pergi dari sanubari,  
biar yang lebam kita sendiri.

Ketika Sirkus Meninggalkan Kota - Rahne Putri

Nafas sepi kembali terhembus dari sela sela batang pohon 
Tak ada lagi bunyi riuh musik
yang menggema
yang bersembunyi
dan lalu mengagetkan siapapun yang melintas saat berjalan kaki

Tak ada lagi badut sirkus berkeliaran
Riasan mata menangis dan bibir sumringah
Yang siap memeluk dan melempar tawa.

Tak ada lagi komedi putar
Dengan patung kuda yang berjalan melingkar
Aku ingat saat menaikinya..
Naik…turun…naik…turun…
Berputar putar putar dan berotasi
Mengingatkan isi pikiranku yang terpusat pada sosokmu
Jelas, aku suka berada di situ


Tak ada lagi atraksi yang mendegupkan jantung
Pria pelempar pisau
Pelatih singa
Aku heran bagaimana bisa dia dengan tunduknya mau melompati lingkaran api

Sepasang manusia yang melayang layang di udara dengan seutas tali
Dan tak pernah takut jatuh menghantam bumi

Semua pernah merampas nafasku sepersekian detik


Tak ada lagi penari dengan baju peri.
Lenggok genitnya yang mencuri perhatian
Senyum manis yang menaburi mimpi dengan indahnya
Sungguh aku ingin seperti dia.
Menari, berlari, mengelilingi hatimu berhari hari sampai letih dan mati
 

Tak ada lagi gemuruh tepuk tangan dan teriakan
Serta balon berwarna warni yang berterbangan


Tak ada lagi malam malam aku menutup mata sebelum tidur dengan penuh kesima
Dan semangat untuk mengunjungi sirkus keesokan hari
Membawakan apel untuk gajah yang sibuk menyemprot air kesana kemari
Disana adalah tempat, di mana kejutan tak pernah sama setiap hari


Kini… keramaian mana lagi yang harus kucari?

Di perbatasan kota aku mengamati kereta sirkus yang pergi dan entah kapan kembali
Aku kembali ke rumah dan berkaca
Ada sesuatu yang luntur dari mata dan kuamati
Sebuah peta
Rupanya inilah kota yang kuhuni

 

Terletak tepat di jantung hati.

Buru-buru

Sedikit mendamba kata pelipur lara. Bergerak fana dalam gelisah tanpa suara.


Sungguh mau aku bertanya jika tak ditekur malu.
Mengapa kamu begitu terburu-buru?

Berdua Saja

Baru kemarin aku berdoa agar Tuhan mengembalikan senyummu. Agar tersimpul segenap cahaya peredup laraku.

Dan sebelum remangnya menjamah bibir malam, kau termangu di dekat perapian. Memandangiku. Mengetuk gelisah jari-jari rupawanmu dan menungguku membisikkan apapun yang kau harap sebagai pertanda kehadiranku.

"Kau mau aku berteriak seperti apa lagi? Habis sudah ini tenaga. Berpeluh pucat kini raga."

Setiap teguk cairan dalam tubuhku serasa jungkir-balik. Metafora yang kugunakan lagi-lagi menyeret seluruh isi perutku menuju rasa perih yang bergejolak. Tapi ada rasa sakit di bagian yang lain sebagai penyeimbangnya.

"Kau bilang kau percaya. Kau bilang kau merasa. Tapi kau tidak pernah benar-benar merasakan, bukan?"

Logika-arogansi berlomba mengikis dan mengulitiku dalam-dalam. Sementara kita bergerak dalam diam, berpura tidur dalam ketiadaan. Nuansa yang dengan khidmat diselimuti oleh bunyi 'tik-tok-tik-tok' dari jarum jam yang tergantung renta di dinding.

Betapa kemarin kita dengan mudahnya membagi canda hingga terlahir jadi bahak yang menggelak..

Pernah kubilang, aku benci saat kita terjebak dalam diam. Aku, kamu, sama-sama tahu semestinya ada rindu dan emosi yang bisa kita baca. Ada gelisah yang sesegera mungkin harus kita ungkap. 

Ada ego yang mestinya dengan ikhlas kita lunturkan..

Tapi tekadku malam ini sudah bulat. Tak tergoyah karena godaan rindu yang semakin hari semakin memekat. 
Jadi ini adanya kita. Berdua saja. Tak saling bicara, tak saling menggapai. Untuk apapun.
Pada pikiran yang kubiarkan lembab, engkau tumbuh,
mengakar-mengukir tak mau sembuh.

 
- Ruth Dian Kurniasari
To everything there is a reason.

To Build a Home - Cinematic Orchestra

There is a house built out of stone
Wooden floors, walls and window sills
Tables and chairs worn by all of the dust
This is a place where I don't feel alone
This is a place where I feel at home

And I built a home
For you
For me

Until you disappeared
From me
From you

And now, it's time to leave and turn to dust



Out in the garden where we planted the seeds
There is a tree as old as me

Branches were sewn by the color of green
Ground had arose and passed its knees

By the cracks of his skin I climbed to the top
I climbed the tree to see the world
When the gusts came around to blow me down
Held on as tightly as you held onto me
Held on as tightly as you held onto me

And, I built a home
For you
For me

Until you disappeared
From me
From you

And now, it's time to leave and turn to dust

Tiga Puluh Januari

Tiga puluh Januari. Pukul delapan malam. Sudirman basah, sesak ditempa kemacetan.
Pandangku hanya tertuju ke depan. Lampu warna-warni yang terbias oleh titik-titik hujan yang menempel pada kaca mobil. 

Lalu masih lekang, abadi dalam ingatku pertemuan tak terduga kita. Melekat. Lengket seperti sisa-sisa cokelat.
Dan kata pertama yang kau ucapkan adalah namaku. Namaku. Dengan sedikit tanda tanya di belakang.

Tapi ekspresiku alot. Kata-kataku sungguh klise. Adukan sempurna sensasi kebingungan, gugup, dan antusiasme hebat yang meledak-ledak.

Mobil-mobil bergerak sesenti lagi. Pikiranku terus menggelayut. Nebulaku terus mendesak, menembus batas pertahanan akal yang susah payah kubangun sejak dulu.

Yah, pernah ada masa-masa di mana pertemanan belum mengkerut seperti benang yang kusut.

Dan kita tidak pernah mencoba untuk berimprovisasi. Semuanya sungguh murni. Asli. Terjadi cepat sekali, hanya butuh sedikit sentilan tangan Tuhan.

Lalu tiba-tiba saja di pipiku mengalir sebuah cairan hangat, menjalar luas disebar kebencian akan kepura-puraan bahwa semuanya masih baik-baik saja.
Rasa yang tidak sanggup dijelaskan bahkan oleh sepasang penyiar radio yang berusaha keras untuk melawak,

atau bahkan oleh jalanan yang tetiba lengang begitu saja..
Manis pahit madu dan jelaga, sensasi Illahi terbaik yang pernah ada.

Semoga - Ruth Dian Kurniasari

Masih harum tengkukmu yang kuhidu bersama sisa-sisa kenangan di cangkir ini.

Remah percakapan kita: tentang eksistensi Tuhan, tentang lirik lagu ‘Bintang Kecil’, tentang lawakan yang dipaksakan terdengar lucu di televisi. Semua masih terngiang, gamblang.

Kau pernah berkata, “Carilah bahagiamu, namun jangan pusatkan padaku. Karena jika nanti aku hilang dari pandangmu, bisa jadi serentak sirna tawamu.”

Ternyata semesta punya telinga, bahkan kuasa untuk menguji tiap kata.

Seperti dipertemukan sembari menunggu dipisahkan, namun tak pernah dipertemukan kembali.

Seperti dipaksa menguntai lagi jahitan-jahitan cerita yang pernah dan sempat aku dan kamu renda.

Seperti diizinkan mencintai, namun setelah hatimu penuh sesak dengan bunga warna-warni, kau jugalah yang harus mencabut akarnya satu per satu hingga mati.

Maka di ujung bait ini, tiada lagi inginku, hanya semoga Tuhan berbaik hati menyilang-salingkan tadir kita, untuk sekadar memperbaiki apa yang telah dengan payah kita rengkuh, namun kita sia-siakan.

Keranda

Garis-garis kehitaman nampak jelas membayang di bawah mata
seakan mengukuh-buktikan tanda sedu sedan yang mengalir begitu lama

Jantung berdetak tak keruan
kadang berdentum sesak menahan sendu, kadang terhujam lemas merengkuh pilu

Di depannya tergeletak keranda, perenggut cercah-cercah kebahagiaan yang tersisa

bersiap turun bersama doa-doa pengampunan yang dilafalkan para pujangga
bersama raga manusia yang pernah dicintainya begitu sempurna

Lalu mata enggan menatap,

Jari urung membalaskan genggam tangan-tangan yang turut meratap
Dagu pun hanya sanggup berputar lesu, menyunggingkan senyum sekedarnya

Tiba-tiba rintik mulai mencumbu

bersamaan keranda diangkat untuk segera diturunkan 

Hujan turun 
temaninya ke peristirahatan

Pesakitan

Kemarin sepercik doa telah pergi
dari telapak-telapak tangan yang menengadah begitu hina
tapi terpaksa harus kembali, tertelungkup lunglai di atas dada

Tiada menerka satu luka yang begitu sulit diseka
Ketika benar-benar tandas, begitu jauh tertindas seperti ditampar keras-keras
terselimut lesu oleh tawa yang dipaksakan terlepas begitu saja

Maka darinya datang belenggu segala rasa
menutup celah cahaya yang semestinya sanggup memberi sepintas hangat
memasung kaki-kaki letih yang berusaha keras untuk mengabaikan perih

Dan masih tertangkup dalam selubungnya, satu manusia bernama aku..
Dan saat semuanya menjadi terbalik, aku masih akan melihatmu dengan sama

- Rahne Putri
Aku, raga yang tak kunjung terbangun untuk terjaga.

Kau Saja yang Memberi Judul

Bara-bara api kenistaan masih belum mati juga
Pun jelaga yang melekat subur layaknya benalu yang menggembur

Seperti tumbuh di setiap jejak penat yang tak henti diinjak kuat-kuat
Lambat-lambat melahap bibit terang yang dulu pernah begitu benderang

Peluh pun segera kuusap, kubakar tiap keluh tanpa asap
Bekas-bekas borok yang menggerogoti kugosok dengan keras, namun tiada juga terlepas

Sudah cukup lama aku bersusah dengan payah
Keteguhan kini tinggal nama, terasa sangat goyah

Perlahan terang dalam ingatan melesu 
Ditinggal kenangan. Berjalan sendirian.

Sebait Eksplanasi Tentangmu

Kamu,

belulang tajam penusuk jiwa yang karam 

sejumput bahak yang membuatku tiada ingin pulang 
pengagum setiap cacat-cacat kata lalu menuntunnya menjadi nyata 
rela ditempa kebosanan akan permainan pujangga gadungan 
setia memapah telapak-telapak yang memincang karena resah

Ah, kamu dan kekamuanmu

aku dan kebodohanku..
"Seperti diizinkan mencintai, namun setelah hatimu penuh sesak dengan bunga warna-warni, kau jugalah yang harus mencabut akarnya satu per satu hingga mati"

- Ruth Dian Kurniasari
Aku, setampuk diri yang gemar mengikir hati.

Monolog

hai gersangku,

aku mulai berpikir sebenarnya aku ini gila.

tadi malam aku bermimpi. aku bermimpi bertemu dengan seorang gadis di dalam cermin. 

rasanya aku mengenalinya, aku berpikir itu mungkin bayanganku sendiri, tapi dia berbicara dengan tutur yang berbeda, tersenyum dengan cara yang berbeda. 

aku bilang padanya bahwa aku bosan mengalamatkan surat-suratku kepada rindu. aku tahu rindu takkan sempat membalas kata-kataku. penatku begitu pekat, lambat-lambat melumat setiap kalimat yang kututurkan.

gadis itu berkata mungkin aku sebaiknya melupakan surat-surat itu. bahkan menurutnya aku tak lebih dari sekedar benalu. bisa kau percaya itu?

aku tahu saat itu aku tenggelam dalam pejamku. aku tahu pasti. bodohnya aku, aku terus diam terpaku menatapnya. tinjuku kukepal dengan kencang. nebulaku berputar cepat, seperti berusaha mencari ada apa yang salah dengan surat-suratku.

lalu dengan suara dinginnya, gadis itu kembali berujar.

"kau ini bukan sastrawan, bukan penulis kan? kau itu pelajar sains."

gadis itu tersenyum penuh teka-teki. kemudian seperti ditiup angin, bayangannya memudar sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata. 


tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. semuanya begitu membingungkan. napasku tersengal. kepalaku sakit. pusing tak pernah terasa begini pening. sambil memegang kepala aku merintih dan kembali merebahkan diri di tempat tidurku. 
lalu aku mulai menyadari.

gadis itu benar.  


aku, benalu yang tak tahu malu.

Jelaga

usang sudah penantian ditopang kesabaran 

bercita memeluk cinta yang hampir berlabuh di pelupuk

bosan menyandu harap yang tak kunjung bisa didekap

seketika remuk, ambruk digerogoti nyamuk

"Kita adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan."


- Payung Teduh

Kepada Cinta yang Pernah Kuselami

Pada cinta,

di sini telah hadir penggalan-penggalan bisik bahagia
yang pernah hilang dilumat sapuan emosi
dan diterjang banyak kata patah hati
karenanya, tak pernah lagi kembali mendampingi sang hari

sekarang cukup sederhana untuk dipahami
hidup adalah tentang pelajaran bagaimana mengerti bahwa cinta tak pernah sama
sekalipun terangkum rapi dalam bait-bait pemohonan yang dipanjatkan
percayalah bahwa cinta hanya akan ditunjukkan oleh Yang Maha Mendengarkan


hidup adalah bagaimana membesarkan angan dalam genggaman, tanpa terlalu jauh untuk terjatuh 
juga tanpa terlalu sakit untuk kembali bangkit


dan cinta, kini dengan bahagia aku menghadapmu,
aku ikhlas melepas jejakmu.
 

Cinta: lebih dari sekadar baris konversasi, eksplanasi, emosi, dan sepercik sensasi.

Kemarin: Kau, Aku, dan Sepeda Tua

Teruntuk lentera hidupku,

Masih lekang dalam ingatanku betapa kau suka menyesap hangat kepalaku saat ku terlelap.
Aku yang dengan kepura-puraanku semakin menutup rapat pejamku, diam-diam tersenyum dalam hati

"Aku menyayangimu, Pa."

Katamu, semestinya saat beranjak tidur, aku membasuh kakiku dengan air supaya aku bisa tertidur dengan nyenyak. Tapi jika kantuk sudah terlalu membuaiku dalam timangnya, kau akan mengambil handuk basah lalu kau usapkan telapak-telapak kaki mungilku hingga bersih.

Kadang dengan sengaja aku melelapkan diri hanya agar bisa merasakan usapan-usapan kecil itu.

"Aku suka saat kau membasuh kakiku saat aku terlelap, Pa. Rasanya dingin, nyaman sekali."

Sebelum malam menjadi terlalu malam, kita menghabiskan waktu berdua. Di atas sepeda abu tuamu, dengan tawa dan asap-asap rokok yang kau hembuskan.

Lalu sambil mengarahkan telunjuk aku mulai membingungkanmu dengan pertanyaan-pertanyaan aneh.

"Kenapa kalau hujan sering ada lingkaran warna-warni di jalanan, Pa? Dari mana itu?"

"Itu minyak dari mobil. Nanti kalau sudah besar, kamu akan pelajarin itu di sekolah."

Kemudian hingga langit malam terlanjur menghitam dan udara menjadi terlalu dingin, kita terus bertualang dengan sepeda tuamu.
Aku harap, aku bisa kembali merasakan hal-hal itu di sana nanti, Pa.

Aku merindukanmu.

Rindu yang Nyata akan Sebuah Raga yang Fana

Nyata itu aku. Kamu yang fana. Lucunya, dunia kita maya.
 

Sebelum aku menulis ini, aku tahu kamu akan membaca tulisanku.
Tapi jika baris-baris kekaguman yang kutorehkan ini tidak cukup hangat menyapamu, mungkin kau bisa membawa cerutu-cerutu asap kerinduanku kemanapun kau pergi. Kau bisa merasa hangat kan? Dan bayangkanlah, jika setiap menit kau menghisap-hembuskannya bisa jadi sesering itu aku mengingatmu.


Nyata itu rinduku. Ragamu yang fana.

By the way, aku tiada lagi bisa menerjemahkan rindu ini dengan bahasa. Aku butuh bahasa baru, butuh ungkapan sebenarnya dari kata kerinduan dan kekaguman. Butuh buku-buku yang tak perlu dituliskan, saat lembar-lembar rindu yang tersemat ini tiada mengenal kata tamat.
 

Dan yah... Aku tahu kini aku sekarat dengan sedikit kalimat.
 

Oh ya, mungkin aku belum pernah mengatakan ini: aku mencintai setiap jentik aksara yang kau sentilkan di setiap percakapan kita.
Pun juga setiap jengkal spasi yang dilahirkan di tuts-tuts laptop kesayanganmu. Huruf, titik, koma, bahkan tanda tanya.

Tak pelak lagi kuakui bahwa kau selalu bisa mengembangkan kerut-kerut halus di kedua ujung bibir ini. 

Dengan caramu. Dengan kata dan bahasamu. Dengan imajinasi dan ruang khayalmu.

Dengan segumpal organ bernama hati yang lucunya kau titipkan kepadaku..

Surat untuk Semesta


 Hai semesta,

Tak bosan ya kamu memesona kalbuku?
Menyunggingkan semburat keindahan cipta-ciptaan Tuhan yang tiada padan
Meleburkan jeruji-jeruji kelegaman di alam yang terpancang begitu dalam
Seakan-akan hanya ada bening yang menutupi semua kelam
 
Semesta,
Jika kau terasa begitu indah,
mengapa masih ada seribu keindahan di dalam matanya?
Mata yang diukir Tuhan dengan keindahan tiada akhir, seumpama air yang kerap mengalir
Seumpama ombak yang terus berdesir dan seumpama bejana pasir yang tetap bergulir

Ke mana indahnya akan berhilir?






"When words fail, music speaks."
Cinta: gurat malu-malu dari sebersit paras yang tersipu.

Nadia

Penyair fiksi 

penikmat seni

seorang mahasiswi pecandu kata nanti-nanti 

saintis belum jadi yang mencoba menggubah puisi

penyanyi dalam panggung khayalnya sendiri

penggombal sejati, emulsi senyawa sepi yang gemar menggeruskan hati

pengagum filosofi, saat banyak hal yang rumit menjadi mudah dimengerti

pencari kebahagiaan yang hakiki, karenanya hidup menjadi begitu berarti



pecundang diri yang bangga menjadi pemimpi.
Cinta: sejuta aksara tak terputus makna.



Duniamu itu, ruang imaji penuh sensasi. Pelangi abadi yang sesaki hati dengan binar mimpi.

Pulang

Bulir-bulir ombak bergulung cepat, seperti berlomba mencumbu keindahan di daratan
Rona matahari pekat membakar cakrawala, begitu gelisah menyambut bulan ke pangkuan
Tiada lagi asa tersisa kecuali angin yang datang tergesa-gesa

Mata kita berpautan, tiba-tiba semesta menjadi tenang
terekam gulungan haru di benakku
tenggorokanku tercekat
bernafas ronggaku kian berat
rasanya waktu tak pernah berjalan begini lambat
aku ingin kita terus seperti ini, seperti lembaran-lembaran yang tiada mengenal kata tamat


Aku enggan pulang
jika kalbuku senantiasa bersimpuh dalam selubung hangatmu
jika bisa bersemayam dalam jutaan neuron yang tak putus penuhi rongga kepalamu

Aku enggan bangun untuk menyambut sang pagi
jika selamanya parasmu tiada lekang dari mimpi
jika angin bisa pergi mengikiskan tubuhku dari lingkaran sepi


Karena saat kehadiranmu memeluk sanubari
aku tahu pasti 
kau lah rumahku sekali lagi


I'm consonant, you're vocal. You're irrational, I'm constant.

GERSANGKU

Ini adalah hari-hari di mana jalan tak lagi terasa panjang

Tak seperti pagi-pagi lainnya, kopi dalam cangkir seperti lebih suka melarutkan kepahitannya
Terpana dengan keindahan bulan, matahari pun enggan cepat-cepat bertengger dengan kenyamanan
Kursi reyot sarat karat, tetap setia menimang lelah meski bergoyang penuh larat 
Suara musik dari kaset usang, perlahan tapi pasti meninggalkan melodi yang gamang
Lalu lampu-lampu dibiarkan meredup, seperti tak pernah benar-benar hidup

Ini gersangku di ufuk penantian, mengabu jadi warnaku
Bila sepi ia menertawaiku, bila sudi ia tegak mengangkatku 
Kadang ia pergi membawa egoku
Kadang ingin kugaplok ia dengan seribu batok, biar kokoh tiada lagi meroboh


Jadi semua ini hanya tentang satu tanya,
Berapa banyak lagi gersangku yang harus kubuat malu? 
Memancangkan tiang keteguhan saja ia tak mau!


Sungguh jika aku mati sekarang, 
ragaku hanya akan bernisan sendu

up