Guess he looks prettier than me. I beg you to agree.
Meski demikian, saya sangat senang karena saya memiliki keluarga baru yang sangat seru! Bahkan sampai saat ini.
Ini adalah foto-foto yang diambil setelah saya menyelesaikan masa magang saya, so di foto-foto ini saya nggak makai baju kerja.
Mereka benar-benar keluarga yang baik. I miss being there so much!
With Rezki. She was such a nice friend!
Paroji - Me - Mas Nopa. We are the three musketeers.
With Mbak Nita.
(left to right) Mas Nopa, Paroji, Mas Budi,
Mas Yusril, Mas Dwi, Me, Mas Toyan & Mas Adi
Dalam waktu dekat ini saya berencana untuk main-main ke kantor lagi. Belum sempat juga foto sama beberapa orang.
So, please kindly wait for my next posts. Ciao!
When everything went wrong, we called Him
We prayed, we begged, we 'forced' Him to fulfill.
And became angry if He didn't.
When everything went back to normal,
did we still beg or just thank Him?
mencintamu adalah hal yang sia-sia
karena hingga detik ini belum bisa kupahami
mengapa hanya ini yang kuterima
Seharusnya logikaku bisa membawaku pergi jauh darimu
tapi nyatanya
malah rindu yang kupunya
Maybe because they're arranged into your name.
orang yang katanya dipersiapkan oleh Tuhan,
yang disesuaikan dengan saya dengan segala kepantasan."
Bicara sekarang,
atau malam keburu tenggelam.
Di pembaringan malam ini, sejenak tubuhku meninggalkan ruang penatnya
Terbangun dengan rasa geli, menyengat di bantal pipi
Rasanya pening. Bising. Pusat inderaku dirotasi lebih jauh sekian derajat dari batas khayal mimpi. Aku meringis, ini bukan pertama kalinya dirimu mampir
Bahkan seisi perutku mencelos, seperti dipenuhi medan listrik yang dengan nakalnya tak henti mengganggu dan menggelitik
Rasanya pening. Bising. Pusat inderaku dirotasi lebih jauh sekian derajat dari batas khayal mimpi. Aku meringis, ini bukan pertama kalinya dirimu mampir
Bahkan seisi perutku mencelos, seperti dipenuhi medan listrik yang dengan nakalnya tak henti mengganggu dan menggelitik
Semuanya menyatu menjadi alunan melodi klasik
dalam notasi yang tak mungkin diterjemahkan sang maestro musik
dalam notasi yang tak mungkin diterjemahkan sang maestro musik
Semuanya manis berbalut warna merah muda. Lembut memanja mata
Semuanya datang. Pergi. Datang. Lalu pergi sesuka hati
Aku tidak mengerti
Bisa tolong berhenti saja bermain-main di pikiranku?
Semuanya datang. Pergi. Datang. Lalu pergi sesuka hati
Aku tidak mengerti
Bisa tolong berhenti saja bermain-main di pikiranku?
"Dan kita tidak pernah mencoba untuk berimprovisasi. Semuanya sungguh murni. Asli. Terjadi cepat sekali, hanya butuh sedikit sentilan tangan Tuhan."
“Bisa mencintai orang lain itu, tulus. Bisa dicintai orang lain itu, bonus. Bisa mencintai diri sendiri itu, harus.”
- Djenar Maesa Ayu
Sebegitukah nyamannya kamu dalam tenangmu?
Di sini, sumbu waktuku tersulut api yang menyala beku.
Diemulsi jutaan partikel omega rasa, siap meledak kapan saja.
Sebegitu merindunya aku, dan ku amati sepi pun turut membisu.
Di tempat dudukmu,
asyik kau hingar dalam bingarmu.
Andai masa lalu bisa dibungkam.
Mungkin aku yang lebih banyak bicara sekarang.
My mind and I. We talk about you everyday.
Tak ada sore
dan udara menjadi segar
Tak ada gelap, lalu mata enggan menatap
Tak ada bintang mati
butiran pasir terbang ke langit
Tak ada fajar, hanya remang malam
Semua t'lah hilang terserap matahari
Harum mawar memburu bulan
Rahasia tetap diam tak terucap
Untuk itu semua, aku mencarimu
Berikan tanganmu, jabat jemariku
Yang kau tinggalkan hanya harum tubuhmu
Berikan suaramu, bawa semua bisikanku
memanggil namamu
Atau kau ingin aku berteriak sekencang kencangnya?
Agar seluruh ruangan ini bergetar oleh suaraku?
(Covered by Rahne Putri)
Ini rahasiaku:
Tak ada gelap, segelap jauh darimu
Tak ada terang, yang seterang senyummu
Tak ada lagi bintang di mataku
Ketika bayanganmu menjauh, membentang
Kau buat rindu dan harapku melayang-layang
Kamu pernah menjadi senja, menenggelamkan semua
Kini yang tersisa hanya aroma tawa
Yang tersisa hanya harum air mata
Lalu aku mencari suaramu
Kuobrak-abrik namamu
Aku mencari wujudmu
Aku mencarimu
aku mencarimu
Stop inspiring me.
hembusan doa di sela jemari
pada rindu yang tak pernah dengan sengaja
kita sesaki.
Bertengger ia begitu kuat
pada pikiran yang tak bisa kau petik harapku dari pucuknya
Lantas dengan angkuh kembali juga tubuhnya
mencobai segala tempat yang dia bilang penuh dengan hasrat
Tapi akhirnya jatuh juga ke peranak kata
Pecah sunyi lagi-lagi di ambang pagi. Singkirkan segumpal niat untuk berdamai dengan apa yang kita sebut sebagai ego diri
Seperti enggan mengurung benci, seperti senang mengikat isyarat hati dalam rantai jeruji
Mungkin benar tak lagi ada rasa yang dulu dengan berbaik hati kita bagi
Mungkin benar kita sekarang hanya seperti memakan remah-remah roti
Sungguh lucu karena kita ingin tetap berlari di saat emosi tidak lagi berbunyi
Ah, biarlah cepat pergi dari sanubari,
biar yang lebam kita sendiri.
Tak ada lagi bunyi riuh musik
yang menggema
yang bersembunyi
dan lalu mengagetkan siapapun yang melintas saat berjalan kaki
Tak ada lagi badut sirkus berkeliaran
Riasan mata menangis dan bibir sumringah
Yang siap memeluk dan melempar tawa.
Tak ada lagi komedi putar
Dengan patung kuda yang berjalan melingkar
Aku ingat saat menaikinya..
Naik…turun…naik…turun…
Berputar putar putar dan berotasi
Mengingatkan isi pikiranku yang terpusat pada sosokmu
Jelas, aku suka berada di situ
Tak ada lagi atraksi yang mendegupkan jantung
Pria pelempar pisau
Pelatih singa
Aku heran bagaimana bisa dia dengan tunduknya mau melompati lingkaran api
Sepasang manusia yang melayang layang di udara dengan seutas tali
Dan tak pernah takut jatuh menghantam bumi
Semua pernah merampas nafasku sepersekian detik
Tak ada lagi penari dengan baju peri.
Lenggok genitnya yang mencuri perhatian
Senyum manis yang menaburi mimpi dengan indahnya
Sungguh aku ingin seperti dia.
Menari, berlari, mengelilingi hatimu berhari hari sampai letih dan mati
Tak ada lagi gemuruh tepuk tangan dan teriakan
Serta balon berwarna warni yang berterbangan
Tak ada lagi malam malam aku menutup mata sebelum tidur dengan penuh kesima
Dan semangat untuk mengunjungi sirkus keesokan hari
Membawakan apel untuk gajah yang sibuk menyemprot air kesana kemari
Disana adalah tempat, di mana kejutan tak pernah sama setiap hari
Kini… keramaian mana lagi yang harus kucari?
Di perbatasan kota aku mengamati kereta sirkus yang pergi dan entah kapan kembali
Aku kembali ke rumah dan berkaca
Ada sesuatu yang luntur dari mata dan kuamati
Sebuah peta
Rupanya inilah kota yang kuhuni
Terletak tepat di jantung hati.
Sungguh mau aku bertanya jika tak ditekur malu.
Mengapa kamu begitu terburu-buru?
Dan sebelum remangnya menjamah bibir malam, kau termangu di dekat perapian. Memandangiku. Mengetuk gelisah jari-jari rupawanmu dan menungguku membisikkan apapun yang kau harap sebagai pertanda kehadiranku.
"Kau mau aku berteriak seperti apa lagi? Habis sudah ini tenaga. Berpeluh pucat kini raga."
Setiap teguk cairan dalam tubuhku serasa jungkir-balik. Metafora yang kugunakan lagi-lagi menyeret seluruh isi perutku menuju rasa perih yang bergejolak. Tapi ada rasa sakit di bagian yang lain sebagai penyeimbangnya.
"Kau bilang kau percaya. Kau bilang kau merasa. Tapi kau tidak pernah benar-benar merasakan, bukan?"
Logika-arogansi berlomba mengikis dan mengulitiku dalam-dalam. Sementara kita bergerak dalam diam, berpura tidur dalam ketiadaan. Nuansa yang dengan khidmat diselimuti oleh bunyi 'tik-tok-tik-tok' dari jarum jam yang tergantung renta di dinding.
Betapa kemarin kita dengan mudahnya membagi canda hingga terlahir jadi bahak yang menggelak..
Pernah kubilang, aku benci saat kita terjebak dalam diam. Aku, kamu, sama-sama tahu semestinya ada rindu dan emosi yang bisa kita baca. Ada gelisah yang sesegera mungkin harus kita ungkap.
Ada ego yang mestinya dengan ikhlas kita lunturkan..
Tapi tekadku malam ini sudah bulat. Tak tergoyah karena godaan rindu yang semakin hari semakin memekat.
Jadi ini adanya kita. Berdua saja. Tak saling bicara, tak saling menggapai. Untuk apapun.
mengakar-mengukir tak mau sembuh.
- Ruth Dian Kurniasari
To everything there is a reason.
Wooden floors, walls and window sills
Tables and chairs worn by all of the dust
This is a place where I don't feel alone
This is a place where I feel at home
And I built a home
For you
For me
Until you disappeared
From me
From you
And now, it's time to leave and turn to dust
Out in the garden where we planted the seeds
There is a tree as old as me
Branches were sewn by the color of green
Ground had arose and passed its knees
By the cracks of his skin I climbed to the top
I climbed the tree to see the world
When the gusts came around to blow me down
Held on as tightly as you held onto me
Held on as tightly as you held onto me
And, I built a home
For you
For me
Until you disappeared
From me
From you
And now, it's time to leave and turn to dust
Pandangku hanya tertuju ke depan. Lampu warna-warni yang terbias oleh titik-titik hujan yang menempel pada kaca mobil.
Lalu masih lekang, abadi dalam ingatku pertemuan tak terduga kita. Melekat. Lengket seperti sisa-sisa cokelat.
Dan kata pertama yang kau ucapkan adalah namaku. Namaku. Dengan sedikit tanda tanya di belakang.
Tapi ekspresiku alot. Kata-kataku sungguh klise. Adukan sempurna sensasi kebingungan, gugup, dan antusiasme hebat yang meledak-ledak.
Mobil-mobil bergerak sesenti lagi. Pikiranku terus menggelayut. Nebulaku terus mendesak, menembus batas pertahanan akal yang susah payah kubangun sejak dulu.
Yah, pernah ada masa-masa di mana pertemanan belum mengkerut seperti benang yang kusut.
Dan kita tidak pernah mencoba untuk berimprovisasi. Semuanya sungguh murni. Asli. Terjadi cepat sekali, hanya butuh sedikit sentilan tangan Tuhan.
Lalu tiba-tiba saja di pipiku mengalir sebuah cairan hangat, menjalar luas disebar kebencian akan kepura-puraan bahwa semuanya masih baik-baik saja.
Rasa yang tidak sanggup dijelaskan bahkan oleh sepasang penyiar radio yang berusaha keras untuk melawak,
atau bahkan oleh jalanan yang tetiba lengang begitu saja..
Manis pahit madu dan jelaga, sensasi Illahi terbaik yang pernah ada.
Remah percakapan kita: tentang eksistensi Tuhan, tentang lirik lagu ‘Bintang Kecil’, tentang lawakan yang dipaksakan terdengar lucu di televisi. Semua masih terngiang, gamblang.
Kau pernah berkata, “Carilah bahagiamu, namun jangan pusatkan padaku. Karena jika nanti aku hilang dari pandangmu, bisa jadi serentak sirna tawamu.”
Ternyata semesta punya telinga, bahkan kuasa untuk menguji tiap kata.
Seperti dipertemukan sembari menunggu dipisahkan, namun tak pernah dipertemukan kembali.
Seperti dipaksa menguntai lagi jahitan-jahitan cerita yang pernah dan sempat aku dan kamu renda.
Seperti diizinkan mencintai, namun setelah hatimu penuh sesak dengan bunga warna-warni, kau jugalah yang harus mencabut akarnya satu per satu hingga mati.
Maka di ujung bait ini, tiada lagi inginku, hanya semoga Tuhan berbaik hati menyilang-salingkan tadir kita, untuk sekadar memperbaiki apa yang telah dengan payah kita rengkuh, namun kita sia-siakan.
Garis-garis kehitaman nampak jelas membayang di bawah mata
seakan mengukuh-buktikan tanda sedu sedan yang mengalir begitu lama
seakan mengukuh-buktikan tanda sedu sedan yang mengalir begitu lama
Jantung berdetak tak keruan
kadang berdentum sesak menahan sendu, kadang terhujam lemas merengkuh pilu
Di depannya tergeletak keranda, perenggut cercah-cercah kebahagiaan yang tersisa
bersiap turun bersama doa-doa pengampunan yang dilafalkan para pujangga
bersama raga manusia yang pernah dicintainya begitu sempurna
Lalu mata enggan menatap,
Jari urung membalaskan genggam tangan-tangan yang turut meratap
Dagu pun hanya sanggup berputar lesu, menyunggingkan senyum sekedarnya
Tiba-tiba rintik mulai mencumbu
bersamaan keranda diangkat untuk segera diturunkan
Di depannya tergeletak keranda, perenggut cercah-cercah kebahagiaan yang tersisa
bersiap turun bersama doa-doa pengampunan yang dilafalkan para pujangga
bersama raga manusia yang pernah dicintainya begitu sempurna
Lalu mata enggan menatap,
Jari urung membalaskan genggam tangan-tangan yang turut meratap
Dagu pun hanya sanggup berputar lesu, menyunggingkan senyum sekedarnya
Tiba-tiba rintik mulai mencumbu
bersamaan keranda diangkat untuk segera diturunkan
Hujan turun
temaninya ke peristirahatan
dari telapak-telapak tangan yang menengadah begitu hina
tapi terpaksa harus kembali, tertelungkup lunglai di atas dada
Tiada menerka satu luka yang begitu sulit diseka
Ketika benar-benar tandas, begitu jauh tertindas seperti ditampar keras-keras
terselimut lesu oleh tawa yang dipaksakan terlepas begitu saja
Maka darinya datang belenggu segala rasa
menutup celah cahaya yang semestinya sanggup memberi sepintas hangat
memasung kaki-kaki letih yang berusaha keras untuk mengabaikan perih
Dan masih tertangkup dalam selubungnya, satu manusia bernama aku..
Dan saat semuanya menjadi terbalik, aku masih akan melihatmu dengan sama
- Rahne Putri
Aku, raga yang tak kunjung terbangun untuk terjaga.
Pun jelaga yang melekat subur layaknya benalu yang menggembur
Seperti tumbuh di setiap jejak penat yang tak henti diinjak kuat-kuat
Lambat-lambat melahap bibit terang yang dulu pernah begitu benderang
Peluh pun segera kuusap, kubakar tiap keluh tanpa asap
Bekas-bekas borok yang menggerogoti kugosok dengan keras, namun tiada juga terlepas
Sudah cukup lama aku bersusah dengan payah
Keteguhan kini tinggal nama, terasa sangat goyah
Perlahan terang dalam ingatan melesu
Ditinggal kenangan. Berjalan sendirian.
belulang tajam penusuk jiwa yang karam
sejumput bahak yang membuatku tiada ingin pulang
pengagum setiap cacat-cacat kata lalu menuntunnya menjadi nyata
rela ditempa kebosanan akan permainan pujangga gadungan
setia memapah telapak-telapak yang memincang karena resah
Ah, kamu dan kekamuanmu
aku dan kebodohanku..
"Seperti diizinkan mencintai, namun setelah hatimu penuh sesak dengan bunga warna-warni, kau jugalah yang harus mencabut akarnya satu per satu hingga mati"
- Ruth Dian Kurniasari
Aku, setampuk diri yang gemar mengikir hati.
aku mulai berpikir sebenarnya aku ini gila.
tadi malam aku bermimpi. aku bermimpi bertemu dengan seorang gadis di dalam cermin.
rasanya aku mengenalinya, aku berpikir itu mungkin bayanganku sendiri, tapi dia berbicara dengan tutur yang berbeda, tersenyum dengan cara yang berbeda.
aku bilang padanya bahwa aku bosan mengalamatkan surat-suratku kepada rindu. aku tahu rindu takkan sempat membalas kata-kataku. penatku begitu pekat, lambat-lambat melumat setiap kalimat yang kututurkan.
gadis itu berkata mungkin aku sebaiknya melupakan surat-surat itu. bahkan menurutnya aku tak lebih dari sekedar benalu. bisa kau percaya itu?
aku tahu saat itu aku tenggelam dalam pejamku. aku tahu pasti. bodohnya aku, aku terus diam terpaku menatapnya. tinjuku kukepal dengan kencang. nebulaku berputar cepat, seperti berusaha mencari ada apa yang salah dengan surat-suratku.
lalu dengan suara dinginnya, gadis itu kembali berujar.
"kau ini bukan sastrawan, bukan penulis kan? kau itu pelajar sains."
gadis itu tersenyum penuh teka-teki. kemudian seperti ditiup angin, bayangannya memudar sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata.
tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. semuanya begitu membingungkan. napasku tersengal. kepalaku sakit. pusing tak pernah terasa begini pening. sambil memegang kepala aku merintih dan kembali merebahkan diri di tempat tidurku.
lalu aku mulai menyadari.
gadis itu benar.
aku, benalu yang tak tahu malu.
bercita memeluk cinta yang hampir berlabuh di pelupuk
bosan menyandu harap yang tak kunjung bisa didekap
seketika remuk, ambruk digerogoti nyamuk
- Payung Teduh
di sini telah hadir penggalan-penggalan bisik bahagia
yang pernah hilang dilumat sapuan emosi
dan diterjang banyak kata patah hati
karenanya, tak pernah lagi kembali mendampingi sang hari
sekarang cukup sederhana untuk dipahami
hidup adalah tentang pelajaran bagaimana mengerti bahwa cinta tak pernah sama
sekalipun terangkum rapi dalam bait-bait pemohonan yang dipanjatkan
percayalah bahwa cinta hanya akan ditunjukkan oleh Yang Maha Mendengarkan
hidup adalah bagaimana membesarkan angan dalam genggaman, tanpa terlalu jauh untuk terjatuh
juga tanpa terlalu sakit untuk kembali bangkit
dan cinta, kini dengan bahagia aku menghadapmu,
aku ikhlas melepas jejakmu.
Cinta: lebih dari sekadar baris konversasi, eksplanasi, emosi, dan sepercik sensasi.
Masih lekang dalam ingatanku betapa kau suka menyesap hangat kepalaku saat ku terlelap.
Aku yang dengan kepura-puraanku semakin menutup rapat pejamku, diam-diam tersenyum dalam hati
"Aku menyayangimu, Pa."
Katamu, semestinya saat beranjak tidur, aku membasuh kakiku dengan air supaya aku bisa tertidur dengan nyenyak. Tapi jika kantuk sudah terlalu membuaiku dalam timangnya, kau akan mengambil handuk basah lalu kau usapkan telapak-telapak kaki mungilku hingga bersih.
Kadang dengan sengaja aku melelapkan diri hanya agar bisa merasakan usapan-usapan kecil itu.
"Aku suka saat kau membasuh kakiku saat aku terlelap, Pa. Rasanya dingin, nyaman sekali."
Sebelum malam menjadi terlalu malam, kita menghabiskan waktu berdua. Di atas sepeda abu tuamu, dengan tawa dan asap-asap rokok yang kau hembuskan.
Lalu sambil mengarahkan telunjuk aku mulai membingungkanmu dengan pertanyaan-pertanyaan aneh.
"Kenapa kalau hujan sering ada lingkaran warna-warni di jalanan, Pa? Dari mana itu?"
"Itu minyak dari mobil. Nanti kalau sudah besar, kamu akan pelajarin itu di sekolah."
Kemudian hingga langit malam terlanjur menghitam dan udara menjadi terlalu dingin, kita terus bertualang dengan sepeda tuamu.
Aku harap, aku bisa kembali merasakan hal-hal itu di sana nanti, Pa.
Aku merindukanmu.
Sebelum aku menulis ini, aku tahu kamu akan membaca tulisanku.
Tapi jika baris-baris kekaguman yang kutorehkan ini tidak cukup hangat menyapamu, mungkin kau bisa membawa cerutu-cerutu asap kerinduanku kemanapun kau pergi. Kau bisa merasa hangat kan? Dan bayangkanlah, jika setiap menit kau menghisap-hembuskannya bisa jadi sesering itu aku mengingatmu.
Nyata itu rinduku. Ragamu yang fana.
By the way, aku tiada lagi bisa menerjemahkan rindu ini dengan bahasa. Aku butuh bahasa baru, butuh ungkapan sebenarnya dari kata kerinduan dan kekaguman. Butuh buku-buku yang tak perlu dituliskan, saat lembar-lembar rindu yang tersemat ini tiada mengenal kata tamat.
Dan yah... Aku tahu kini aku sekarat dengan sedikit kalimat.
Oh ya, mungkin aku belum pernah mengatakan ini: aku mencintai setiap jentik aksara yang kau sentilkan di setiap percakapan kita.
Pun juga setiap jengkal spasi yang dilahirkan di tuts-tuts laptop kesayanganmu. Huruf, titik, koma, bahkan tanda tanya.
Tak pelak lagi kuakui bahwa kau selalu bisa mengembangkan kerut-kerut halus di kedua ujung bibir ini.
Dengan caramu. Dengan kata dan bahasamu. Dengan imajinasi dan ruang khayalmu.
Dengan segumpal organ bernama hati yang lucunya kau titipkan kepadaku..
Hai semesta,
Tak bosan ya kamu memesona kalbuku?
Menyunggingkan semburat keindahan cipta-ciptaan Tuhan yang tiada padan
Meleburkan jeruji-jeruji kelegaman di alam yang terpancang begitu dalam
Seakan-akan hanya ada bening yang menutupi semua kelam
Semesta,
Jika kau terasa begitu indah,
mengapa masih ada seribu keindahan di dalam matanya?
mengapa masih ada seribu keindahan di dalam matanya?
Mata yang diukir Tuhan dengan keindahan tiada akhir, seumpama air yang kerap mengalir
Seumpama ombak yang terus berdesir dan seumpama bejana pasir yang tetap bergulir
Seumpama ombak yang terus berdesir dan seumpama bejana pasir yang tetap bergulir
Ke mana indahnya akan berhilir?
"When words fail, music speaks."
Cinta: gurat malu-malu dari sebersit paras yang tersipu.
penikmat seni
seorang mahasiswi pecandu kata nanti-nanti
saintis belum jadi yang mencoba menggubah puisi
penyanyi dalam panggung khayalnya sendiri
penggombal sejati, emulsi senyawa sepi yang gemar menggeruskan hati
pengagum filosofi, saat banyak hal yang rumit menjadi mudah dimengerti
pencari kebahagiaan yang hakiki, karenanya hidup menjadi begitu berarti
pecundang diri yang bangga menjadi pemimpi.
Cinta: sejuta aksara tak terputus makna.
Rona matahari pekat membakar cakrawala, begitu gelisah menyambut bulan ke pangkuan
Tiada lagi asa tersisa kecuali angin yang datang tergesa-gesa
Mata kita berpautan, tiba-tiba semesta menjadi tenang
terekam gulungan haru di benakku
tenggorokanku tercekat
bernafas ronggaku kian berat
rasanya waktu tak pernah berjalan begini lambat
aku ingin kita terus seperti ini, seperti lembaran-lembaran yang tiada mengenal kata tamat
Aku enggan pulang
jika kalbuku senantiasa bersimpuh dalam selubung hangatmu
jika bisa bersemayam dalam jutaan neuron yang tak putus penuhi rongga kepalamu
Aku enggan bangun untuk menyambut sang pagi
jika selamanya parasmu tiada lekang dari mimpi
jika angin bisa pergi mengikiskan tubuhku dari lingkaran sepi
Karena saat kehadiranmu memeluk sanubari
aku tahu pasti
kau lah rumahku sekali lagi
I'm consonant, you're vocal. You're irrational, I'm constant.
Tak seperti pagi-pagi lainnya, kopi dalam cangkir seperti lebih suka melarutkan kepahitannya
Terpana dengan keindahan bulan, matahari pun enggan cepat-cepat bertengger dengan kenyamanan
Kursi reyot sarat karat, tetap setia menimang lelah meski bergoyang penuh larat
Suara musik dari kaset usang, perlahan tapi pasti meninggalkan melodi yang gamang
Lalu lampu-lampu dibiarkan meredup, seperti tak pernah benar-benar hidup
Ini gersangku di ufuk penantian, mengabu jadi warnaku
Bila sepi ia menertawaiku, bila sudi ia tegak mengangkatku
Kadang ia pergi membawa egoku
Kadang ingin kugaplok ia dengan seribu batok, biar kokoh tiada lagi meroboh
Jadi semua ini hanya tentang satu tanya,
Berapa banyak lagi gersangku yang harus kubuat malu?
Memancangkan tiang keteguhan saja ia tak mau!
Sungguh jika aku mati sekarang,
ragaku hanya akan bernisan sendu
Subscribe to:
Posts (Atom)