skip to main
skip to sidebar
Sedikit mendamba kata pelipur lara. Bergerak fana dalam gelisah tanpa suara.
Sungguh mau aku bertanya jika tak ditekur malu.
Mengapa kamu begitu terburu-buru?
Baru kemarin aku berdoa agar Tuhan mengembalikan senyummu. Agar tersimpul segenap cahaya peredup laraku.
Dan sebelum remangnya menjamah bibir malam, kau termangu di dekat perapian. Memandangiku. Mengetuk gelisah jari-jari rupawanmu dan menungguku membisikkan apapun yang kau harap sebagai pertanda kehadiranku.
"Kau mau aku berteriak seperti apa lagi? Habis sudah ini tenaga. Berpeluh pucat kini raga."
Setiap teguk cairan dalam tubuhku serasa jungkir-balik. Metafora yang kugunakan lagi-lagi menyeret seluruh isi perutku menuju rasa perih yang bergejolak. Tapi ada rasa sakit di bagian yang lain sebagai penyeimbangnya.
"Kau bilang kau percaya. Kau bilang kau merasa. Tapi kau tidak pernah benar-benar merasakan, bukan?"
Logika-arogansi berlomba mengikis dan mengulitiku dalam-dalam. Sementara kita bergerak dalam diam, berpura tidur dalam ketiadaan. Nuansa yang dengan khidmat diselimuti oleh bunyi 'tik-tok-tik-tok' dari jarum jam yang tergantung renta di dinding.
Betapa kemarin kita dengan mudahnya membagi canda hingga terlahir jadi bahak yang menggelak..
Pernah kubilang, aku benci saat kita terjebak dalam diam. Aku, kamu, sama-sama tahu semestinya ada rindu dan emosi yang bisa kita baca. Ada gelisah yang sesegera mungkin harus kita ungkap.
Ada ego yang mestinya dengan ikhlas kita lunturkan..
Tapi tekadku malam ini sudah bulat. Tak tergoyah karena godaan rindu yang semakin hari semakin memekat.
Jadi ini adanya kita. Berdua saja. Tak saling bicara, tak saling menggapai. Untuk apapun.
Pada pikiran yang kubiarkan lembab, engkau tumbuh,
mengakar-mengukir tak mau sembuh.
- Ruth Dian Kurniasari
To everything there is a reason.
There is a house built out of stone
Wooden floors, walls and window sills
Tables and chairs worn by all of the dust
This is a place where I don't feel alone
This is a place where I feel at home
And I built a home
For you
For me
Until you disappeared
From me
From you
And now, it's time to leave and turn to dust
Out in the garden where we planted the seeds
There is a tree as old as me
Branches were sewn by the color of green
Ground had arose and passed its knees
By the cracks of his skin I climbed to the top
I climbed the tree to see the world
When the gusts came around to blow me down
Held on as tightly as you held onto me
Held on as tightly as you held onto me
And, I built a home
For you
For me
Until you disappeared
From me
From you
And now, it's time to leave and turn to dust
Tiga puluh Januari. Pukul delapan malam. Sudirman basah, sesak ditempa kemacetan.
Pandangku hanya tertuju ke depan. Lampu warna-warni yang terbias oleh titik-titik hujan yang menempel pada kaca mobil.
Lalu masih lekang, abadi dalam ingatku pertemuan tak terduga kita. Melekat. Lengket seperti sisa-sisa cokelat.
Dan kata pertama yang kau ucapkan adalah namaku. Namaku. Dengan sedikit tanda tanya di belakang.
Tapi ekspresiku alot. Kata-kataku sungguh klise. Adukan sempurna sensasi kebingungan, gugup, dan antusiasme hebat yang meledak-ledak.
Mobil-mobil bergerak sesenti lagi. Pikiranku terus menggelayut. Nebulaku terus mendesak, menembus batas pertahanan akal yang susah payah kubangun sejak dulu.
Yah, pernah ada masa-masa di mana pertemanan belum mengkerut seperti benang yang kusut.
Dan kita tidak pernah mencoba untuk berimprovisasi. Semuanya sungguh murni. Asli. Terjadi cepat sekali, hanya butuh sedikit sentilan tangan Tuhan.
Lalu tiba-tiba saja di pipiku mengalir sebuah cairan hangat, menjalar luas disebar kebencian akan kepura-puraan bahwa semuanya masih baik-baik saja.
Rasa yang tidak sanggup dijelaskan bahkan oleh sepasang penyiar radio yang berusaha keras untuk melawak,
atau bahkan oleh jalanan yang tetiba lengang begitu saja..
Manis pahit madu dan jelaga, sensasi Illahi terbaik yang pernah ada.
↑
up