Semoga - Ruth Dian Kurniasari

Masih harum tengkukmu yang kuhidu bersama sisa-sisa kenangan di cangkir ini.

Remah percakapan kita: tentang eksistensi Tuhan, tentang lirik lagu ‘Bintang Kecil’, tentang lawakan yang dipaksakan terdengar lucu di televisi. Semua masih terngiang, gamblang.

Kau pernah berkata, “Carilah bahagiamu, namun jangan pusatkan padaku. Karena jika nanti aku hilang dari pandangmu, bisa jadi serentak sirna tawamu.”

Ternyata semesta punya telinga, bahkan kuasa untuk menguji tiap kata.

Seperti dipertemukan sembari menunggu dipisahkan, namun tak pernah dipertemukan kembali.

Seperti dipaksa menguntai lagi jahitan-jahitan cerita yang pernah dan sempat aku dan kamu renda.

Seperti diizinkan mencintai, namun setelah hatimu penuh sesak dengan bunga warna-warni, kau jugalah yang harus mencabut akarnya satu per satu hingga mati.

Maka di ujung bait ini, tiada lagi inginku, hanya semoga Tuhan berbaik hati menyilang-salingkan tadir kita, untuk sekadar memperbaiki apa yang telah dengan payah kita rengkuh, namun kita sia-siakan.

Keranda

Garis-garis kehitaman nampak jelas membayang di bawah mata
seakan mengukuh-buktikan tanda sedu sedan yang mengalir begitu lama

Jantung berdetak tak keruan
kadang berdentum sesak menahan sendu, kadang terhujam lemas merengkuh pilu

Di depannya tergeletak keranda, perenggut cercah-cercah kebahagiaan yang tersisa

bersiap turun bersama doa-doa pengampunan yang dilafalkan para pujangga
bersama raga manusia yang pernah dicintainya begitu sempurna

Lalu mata enggan menatap,

Jari urung membalaskan genggam tangan-tangan yang turut meratap
Dagu pun hanya sanggup berputar lesu, menyunggingkan senyum sekedarnya

Tiba-tiba rintik mulai mencumbu

bersamaan keranda diangkat untuk segera diturunkan 

Hujan turun 
temaninya ke peristirahatan

Pesakitan

Kemarin sepercik doa telah pergi
dari telapak-telapak tangan yang menengadah begitu hina
tapi terpaksa harus kembali, tertelungkup lunglai di atas dada

Tiada menerka satu luka yang begitu sulit diseka
Ketika benar-benar tandas, begitu jauh tertindas seperti ditampar keras-keras
terselimut lesu oleh tawa yang dipaksakan terlepas begitu saja

Maka darinya datang belenggu segala rasa
menutup celah cahaya yang semestinya sanggup memberi sepintas hangat
memasung kaki-kaki letih yang berusaha keras untuk mengabaikan perih

Dan masih tertangkup dalam selubungnya, satu manusia bernama aku..

up