Dan saat semuanya menjadi terbalik, aku masih akan melihatmu dengan sama

- Rahne Putri
Aku, raga yang tak kunjung terbangun untuk terjaga.

Kau Saja yang Memberi Judul

Bara-bara api kenistaan masih belum mati juga
Pun jelaga yang melekat subur layaknya benalu yang menggembur

Seperti tumbuh di setiap jejak penat yang tak henti diinjak kuat-kuat
Lambat-lambat melahap bibit terang yang dulu pernah begitu benderang

Peluh pun segera kuusap, kubakar tiap keluh tanpa asap
Bekas-bekas borok yang menggerogoti kugosok dengan keras, namun tiada juga terlepas

Sudah cukup lama aku bersusah dengan payah
Keteguhan kini tinggal nama, terasa sangat goyah

Perlahan terang dalam ingatan melesu 
Ditinggal kenangan. Berjalan sendirian.

Sebait Eksplanasi Tentangmu

Kamu,

belulang tajam penusuk jiwa yang karam 

sejumput bahak yang membuatku tiada ingin pulang 
pengagum setiap cacat-cacat kata lalu menuntunnya menjadi nyata 
rela ditempa kebosanan akan permainan pujangga gadungan 
setia memapah telapak-telapak yang memincang karena resah

Ah, kamu dan kekamuanmu

aku dan kebodohanku..
"Seperti diizinkan mencintai, namun setelah hatimu penuh sesak dengan bunga warna-warni, kau jugalah yang harus mencabut akarnya satu per satu hingga mati"

- Ruth Dian Kurniasari
Aku, setampuk diri yang gemar mengikir hati.

Monolog

hai gersangku,

aku mulai berpikir sebenarnya aku ini gila.

tadi malam aku bermimpi. aku bermimpi bertemu dengan seorang gadis di dalam cermin. 

rasanya aku mengenalinya, aku berpikir itu mungkin bayanganku sendiri, tapi dia berbicara dengan tutur yang berbeda, tersenyum dengan cara yang berbeda. 

aku bilang padanya bahwa aku bosan mengalamatkan surat-suratku kepada rindu. aku tahu rindu takkan sempat membalas kata-kataku. penatku begitu pekat, lambat-lambat melumat setiap kalimat yang kututurkan.

gadis itu berkata mungkin aku sebaiknya melupakan surat-surat itu. bahkan menurutnya aku tak lebih dari sekedar benalu. bisa kau percaya itu?

aku tahu saat itu aku tenggelam dalam pejamku. aku tahu pasti. bodohnya aku, aku terus diam terpaku menatapnya. tinjuku kukepal dengan kencang. nebulaku berputar cepat, seperti berusaha mencari ada apa yang salah dengan surat-suratku.

lalu dengan suara dinginnya, gadis itu kembali berujar.

"kau ini bukan sastrawan, bukan penulis kan? kau itu pelajar sains."

gadis itu tersenyum penuh teka-teki. kemudian seperti ditiup angin, bayangannya memudar sebelum aku sempat mengeluarkan sepatah kata. 


tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. semuanya begitu membingungkan. napasku tersengal. kepalaku sakit. pusing tak pernah terasa begini pening. sambil memegang kepala aku merintih dan kembali merebahkan diri di tempat tidurku. 
lalu aku mulai menyadari.

gadis itu benar.  


aku, benalu yang tak tahu malu.

Jelaga

usang sudah penantian ditopang kesabaran 

bercita memeluk cinta yang hampir berlabuh di pelupuk

bosan menyandu harap yang tak kunjung bisa didekap

seketika remuk, ambruk digerogoti nyamuk

"Kita adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan."


- Payung Teduh

Kepada Cinta yang Pernah Kuselami

Pada cinta,

di sini telah hadir penggalan-penggalan bisik bahagia
yang pernah hilang dilumat sapuan emosi
dan diterjang banyak kata patah hati
karenanya, tak pernah lagi kembali mendampingi sang hari

sekarang cukup sederhana untuk dipahami
hidup adalah tentang pelajaran bagaimana mengerti bahwa cinta tak pernah sama
sekalipun terangkum rapi dalam bait-bait pemohonan yang dipanjatkan
percayalah bahwa cinta hanya akan ditunjukkan oleh Yang Maha Mendengarkan


hidup adalah bagaimana membesarkan angan dalam genggaman, tanpa terlalu jauh untuk terjatuh 
juga tanpa terlalu sakit untuk kembali bangkit


dan cinta, kini dengan bahagia aku menghadapmu,
aku ikhlas melepas jejakmu.
 

Cinta: lebih dari sekadar baris konversasi, eksplanasi, emosi, dan sepercik sensasi.

Kemarin: Kau, Aku, dan Sepeda Tua

Teruntuk lentera hidupku,

Masih lekang dalam ingatanku betapa kau suka menyesap hangat kepalaku saat ku terlelap.
Aku yang dengan kepura-puraanku semakin menutup rapat pejamku, diam-diam tersenyum dalam hati

"Aku menyayangimu, Pa."

Katamu, semestinya saat beranjak tidur, aku membasuh kakiku dengan air supaya aku bisa tertidur dengan nyenyak. Tapi jika kantuk sudah terlalu membuaiku dalam timangnya, kau akan mengambil handuk basah lalu kau usapkan telapak-telapak kaki mungilku hingga bersih.

Kadang dengan sengaja aku melelapkan diri hanya agar bisa merasakan usapan-usapan kecil itu.

"Aku suka saat kau membasuh kakiku saat aku terlelap, Pa. Rasanya dingin, nyaman sekali."

Sebelum malam menjadi terlalu malam, kita menghabiskan waktu berdua. Di atas sepeda abu tuamu, dengan tawa dan asap-asap rokok yang kau hembuskan.

Lalu sambil mengarahkan telunjuk aku mulai membingungkanmu dengan pertanyaan-pertanyaan aneh.

"Kenapa kalau hujan sering ada lingkaran warna-warni di jalanan, Pa? Dari mana itu?"

"Itu minyak dari mobil. Nanti kalau sudah besar, kamu akan pelajarin itu di sekolah."

Kemudian hingga langit malam terlanjur menghitam dan udara menjadi terlalu dingin, kita terus bertualang dengan sepeda tuamu.
Aku harap, aku bisa kembali merasakan hal-hal itu di sana nanti, Pa.

Aku merindukanmu.

Rindu yang Nyata akan Sebuah Raga yang Fana

Nyata itu aku. Kamu yang fana. Lucunya, dunia kita maya.
 

Sebelum aku menulis ini, aku tahu kamu akan membaca tulisanku.
Tapi jika baris-baris kekaguman yang kutorehkan ini tidak cukup hangat menyapamu, mungkin kau bisa membawa cerutu-cerutu asap kerinduanku kemanapun kau pergi. Kau bisa merasa hangat kan? Dan bayangkanlah, jika setiap menit kau menghisap-hembuskannya bisa jadi sesering itu aku mengingatmu.


Nyata itu rinduku. Ragamu yang fana.

By the way, aku tiada lagi bisa menerjemahkan rindu ini dengan bahasa. Aku butuh bahasa baru, butuh ungkapan sebenarnya dari kata kerinduan dan kekaguman. Butuh buku-buku yang tak perlu dituliskan, saat lembar-lembar rindu yang tersemat ini tiada mengenal kata tamat.
 

Dan yah... Aku tahu kini aku sekarat dengan sedikit kalimat.
 

Oh ya, mungkin aku belum pernah mengatakan ini: aku mencintai setiap jentik aksara yang kau sentilkan di setiap percakapan kita.
Pun juga setiap jengkal spasi yang dilahirkan di tuts-tuts laptop kesayanganmu. Huruf, titik, koma, bahkan tanda tanya.

Tak pelak lagi kuakui bahwa kau selalu bisa mengembangkan kerut-kerut halus di kedua ujung bibir ini. 

Dengan caramu. Dengan kata dan bahasamu. Dengan imajinasi dan ruang khayalmu.

Dengan segumpal organ bernama hati yang lucunya kau titipkan kepadaku..

Surat untuk Semesta


 Hai semesta,

Tak bosan ya kamu memesona kalbuku?
Menyunggingkan semburat keindahan cipta-ciptaan Tuhan yang tiada padan
Meleburkan jeruji-jeruji kelegaman di alam yang terpancang begitu dalam
Seakan-akan hanya ada bening yang menutupi semua kelam
 
Semesta,
Jika kau terasa begitu indah,
mengapa masih ada seribu keindahan di dalam matanya?
Mata yang diukir Tuhan dengan keindahan tiada akhir, seumpama air yang kerap mengalir
Seumpama ombak yang terus berdesir dan seumpama bejana pasir yang tetap bergulir

Ke mana indahnya akan berhilir?






"When words fail, music speaks."
Cinta: gurat malu-malu dari sebersit paras yang tersipu.

Nadia

Penyair fiksi 

penikmat seni

seorang mahasiswi pecandu kata nanti-nanti 

saintis belum jadi yang mencoba menggubah puisi

penyanyi dalam panggung khayalnya sendiri

penggombal sejati, emulsi senyawa sepi yang gemar menggeruskan hati

pengagum filosofi, saat banyak hal yang rumit menjadi mudah dimengerti

pencari kebahagiaan yang hakiki, karenanya hidup menjadi begitu berarti



pecundang diri yang bangga menjadi pemimpi.
Cinta: sejuta aksara tak terputus makna.



Duniamu itu, ruang imaji penuh sensasi. Pelangi abadi yang sesaki hati dengan binar mimpi.

Pulang

Bulir-bulir ombak bergulung cepat, seperti berlomba mencumbu keindahan di daratan
Rona matahari pekat membakar cakrawala, begitu gelisah menyambut bulan ke pangkuan
Tiada lagi asa tersisa kecuali angin yang datang tergesa-gesa

Mata kita berpautan, tiba-tiba semesta menjadi tenang
terekam gulungan haru di benakku
tenggorokanku tercekat
bernafas ronggaku kian berat
rasanya waktu tak pernah berjalan begini lambat
aku ingin kita terus seperti ini, seperti lembaran-lembaran yang tiada mengenal kata tamat


Aku enggan pulang
jika kalbuku senantiasa bersimpuh dalam selubung hangatmu
jika bisa bersemayam dalam jutaan neuron yang tak putus penuhi rongga kepalamu

Aku enggan bangun untuk menyambut sang pagi
jika selamanya parasmu tiada lekang dari mimpi
jika angin bisa pergi mengikiskan tubuhku dari lingkaran sepi


Karena saat kehadiranmu memeluk sanubari
aku tahu pasti 
kau lah rumahku sekali lagi


I'm consonant, you're vocal. You're irrational, I'm constant.

GERSANGKU

Ini adalah hari-hari di mana jalan tak lagi terasa panjang

Tak seperti pagi-pagi lainnya, kopi dalam cangkir seperti lebih suka melarutkan kepahitannya
Terpana dengan keindahan bulan, matahari pun enggan cepat-cepat bertengger dengan kenyamanan
Kursi reyot sarat karat, tetap setia menimang lelah meski bergoyang penuh larat 
Suara musik dari kaset usang, perlahan tapi pasti meninggalkan melodi yang gamang
Lalu lampu-lampu dibiarkan meredup, seperti tak pernah benar-benar hidup

Ini gersangku di ufuk penantian, mengabu jadi warnaku
Bila sepi ia menertawaiku, bila sudi ia tegak mengangkatku 
Kadang ia pergi membawa egoku
Kadang ingin kugaplok ia dengan seribu batok, biar kokoh tiada lagi meroboh


Jadi semua ini hanya tentang satu tanya,
Berapa banyak lagi gersangku yang harus kubuat malu? 
Memancangkan tiang keteguhan saja ia tak mau!


Sungguh jika aku mati sekarang, 
ragaku hanya akan bernisan sendu

up