Tak seperti pagi-pagi lainnya, kopi dalam cangkir seperti lebih suka melarutkan kepahitannya
Terpana dengan keindahan bulan, matahari pun enggan cepat-cepat bertengger dengan kenyamanan
Kursi reyot sarat karat, tetap setia menimang lelah meski bergoyang penuh larat
Suara musik dari kaset usang, perlahan tapi pasti meninggalkan melodi yang gamang
Lalu lampu-lampu dibiarkan meredup, seperti tak pernah benar-benar hidup
Ini gersangku di ufuk penantian, mengabu jadi warnaku
Bila sepi ia menertawaiku, bila sudi ia tegak mengangkatku
Kadang ia pergi membawa egoku
Kadang ingin kugaplok ia dengan seribu batok, biar kokoh tiada lagi meroboh
Jadi semua ini hanya tentang satu tanya,
Berapa banyak lagi gersangku yang harus kubuat malu?
Memancangkan tiang keteguhan saja ia tak mau!
Sungguh jika aku mati sekarang,
ragaku hanya akan bernisan sendu
0 comments:
Post a Comment