Tiga Puluh Januari

Tiga puluh Januari. Pukul delapan malam. Sudirman basah, sesak ditempa kemacetan.
Pandangku hanya tertuju ke depan. Lampu warna-warni yang terbias oleh titik-titik hujan yang menempel pada kaca mobil. 

Lalu masih lekang, abadi dalam ingatku pertemuan tak terduga kita. Melekat. Lengket seperti sisa-sisa cokelat.
Dan kata pertama yang kau ucapkan adalah namaku. Namaku. Dengan sedikit tanda tanya di belakang.

Tapi ekspresiku alot. Kata-kataku sungguh klise. Adukan sempurna sensasi kebingungan, gugup, dan antusiasme hebat yang meledak-ledak.

Mobil-mobil bergerak sesenti lagi. Pikiranku terus menggelayut. Nebulaku terus mendesak, menembus batas pertahanan akal yang susah payah kubangun sejak dulu.

Yah, pernah ada masa-masa di mana pertemanan belum mengkerut seperti benang yang kusut.

Dan kita tidak pernah mencoba untuk berimprovisasi. Semuanya sungguh murni. Asli. Terjadi cepat sekali, hanya butuh sedikit sentilan tangan Tuhan.

Lalu tiba-tiba saja di pipiku mengalir sebuah cairan hangat, menjalar luas disebar kebencian akan kepura-puraan bahwa semuanya masih baik-baik saja.
Rasa yang tidak sanggup dijelaskan bahkan oleh sepasang penyiar radio yang berusaha keras untuk melawak,

atau bahkan oleh jalanan yang tetiba lengang begitu saja..

0 comments:

Post a Comment


up