Berdua Saja

Baru kemarin aku berdoa agar Tuhan mengembalikan senyummu. Agar tersimpul segenap cahaya peredup laraku.

Dan sebelum remangnya menjamah bibir malam, kau termangu di dekat perapian. Memandangiku. Mengetuk gelisah jari-jari rupawanmu dan menungguku membisikkan apapun yang kau harap sebagai pertanda kehadiranku.

"Kau mau aku berteriak seperti apa lagi? Habis sudah ini tenaga. Berpeluh pucat kini raga."

Setiap teguk cairan dalam tubuhku serasa jungkir-balik. Metafora yang kugunakan lagi-lagi menyeret seluruh isi perutku menuju rasa perih yang bergejolak. Tapi ada rasa sakit di bagian yang lain sebagai penyeimbangnya.

"Kau bilang kau percaya. Kau bilang kau merasa. Tapi kau tidak pernah benar-benar merasakan, bukan?"

Logika-arogansi berlomba mengikis dan mengulitiku dalam-dalam. Sementara kita bergerak dalam diam, berpura tidur dalam ketiadaan. Nuansa yang dengan khidmat diselimuti oleh bunyi 'tik-tok-tik-tok' dari jarum jam yang tergantung renta di dinding.

Betapa kemarin kita dengan mudahnya membagi canda hingga terlahir jadi bahak yang menggelak..

Pernah kubilang, aku benci saat kita terjebak dalam diam. Aku, kamu, sama-sama tahu semestinya ada rindu dan emosi yang bisa kita baca. Ada gelisah yang sesegera mungkin harus kita ungkap. 

Ada ego yang mestinya dengan ikhlas kita lunturkan..

Tapi tekadku malam ini sudah bulat. Tak tergoyah karena godaan rindu yang semakin hari semakin memekat. 
Jadi ini adanya kita. Berdua saja. Tak saling bicara, tak saling menggapai. Untuk apapun.

0 comments:

Post a Comment


up